Bukan Fiersa Besari
Belakangan ini saya suka menonton
channel Fiersa Besari di Youtube, terutama tentang Jurnal Perjalanannya yang
membuat pikiran saya lebih terbuka mengenai sebuah perjalanan. Membuat saya ingin menumpahkan pikiran melalui tulisan kembali di blog ini. Mungkin benar,
banyak orang mencari sebuah perjalanan hanya sekedar untuk pamer foto di
sosial media, like, komentar, tanpa memerhatikan sisi kecil dari setiap langkah yang
sebenarnya bisa di ambil pelajaran. Saya sendiri hanya sekedar suka untuk
melakukan perjalanan, terutama main-main ke alam. Mungkin sudah mulai jatuh
cinta? Mungkin.
Tahun
2014, saat saya kelas 11, pertama kalinya saya mendaki gunung, Gunung Gede di
Jawa Barat. Celana Jeans, tidak bawa jaket gunung, tidak cek isi dari sleeping
bag sebelum berangkat (dan ternyata isi dari tas sleeping bag-nya pakaian dalam
salah satu anak sispala SMA saya -_-), sok-sokan membawa carrier paling besar
karena memang saat itu fisik saya masih sering ditempa lewat latihan
bulutangkis, bahkan saya pakai sepatu bulutangkis Flypower batik keluaran pertama saat itu yang biasanya
saya gunakan untuk jogging, dan tujuan cuma satu, yaitu puncak. Pasti semua
akan terbayar di puncak, dan ternyata tidak sepenuhnya benar. Mengapa tidak
sepenuhnya benar? Karena semua sudah mulai terbayar saat saya bertemu dengan
Surya Kencana, padang rumput luas yang dilalui via Gunung Putri. Ditambah lagi
saat camp di Surya Kencana, malam hari disuguhi bintang-bintang yang bertebaran
sangat banyak di langit, untuk pertama kalinya saya melihat langsung bintang
terlihat dekat sebanyak itu.
Carrier saya berat, asli. |
Ini foto terbaik surya kencana yang saya dapatkan di galeri saya, modelnya Ka Ayat. |
Beberapa
hari disana membuat kami sangat akrab, waktu itu ada tujuh orang. Saya, Ravi
dan Rika dari teman seangkatan saya di SMA, lalu Ka Ayat yaitu senior SMA saya
yang lebih tua empat tahun dari saya (saat itu dia sudah kerja sebagai guru
olahraga), Ka Ovi teman SMP ka Ayat, lalu Maulana dan Ade yang adalah Murid Ka
Ayat di salah satu SMK di Jakarta. Yang saya pikirkan adalah sebegitu mudah
gunung membawakan suasana hingga orang yang baru kenal pun bisa menjadi akrab,
entah dengan keluhan “kapan sampe nya nih” atau dengan candaan kecil.
Dari
pendakian pertama, saya belajar bahwa terkadang hasil dari sebuah usaha itu
tidak seberapa namun prosesnya lah yang lebih penting. Memang saat sampai
puncak saya puas untuk pertama kalinya saya berada di atas awan 2958 mdpl, namun pertemuan
pertama saya dengan Surya Kencana yang lebih sulit dilupakan. Saya belajar
bagaimana menekan ego, mengurangi mengeluh meskipun saya memang masih sangat
sering mengucapkan keluhan sampai sekarang. Saya belajar, bahwa segala hal
membutuhkan persiapan yang matang (mana saya tahu kalo gunung sedingin itu dan
butuh jaket tebal). Masih banyak pelajaran lainnya yang bisa saya ambil.
waktu itu tongsis baru naik daun, dan ini idenya Maul. |
Sepertinya
tulisan gunung-gunung-an ini akan berlanjut, sampai tahun 2018 sepertinya saya
semakin jatuh cinta dengan perjalanan yang melelahkan ini.
thanks for sharing,.
BalasHapus