Telfon Ajaib
“Aku keatas dulu ya mau telfon
sebentar”, kataku kepada temanku yang jogging
bersamaku sore itu.
Aku menaiki entah berapa anak
tangga, dan aku sampai di tribun stadion. Aku colok Headset di smartphone-ku, lalu aku pasang speaker headset-nya di
telingaku. Aku menekan 021, kode daerah Jakarta dan sekitarnya lalu diikuti
dengan nomor telfon warungku karena aku kira sore itu warung belum tutup. Setelah
aku tunggu bunyi ‘tuutt’ beberapa kali, ternyata tidak ada yang mengangkat
telfonku. Dengan penuh kepastian aku mengganti nomor yang aku telfon menjadi
nomor telfon rumahku. Hanya menunggu sebentar lalu tersambung, kami sama-sama
memberi salam “Assalamu’alaikum”, dan kami juga menjawab salam “Wa’alaikumussalam
Warahmatullah”. Setelah itu orang tercinta yang mengangkat telfonku berkata, “Ada
apa sayang? Mamah telfon balik atau gimana?”.”Iya mah, telfon balik ya”, kataku
yang sebelum menelfon sempat cek pulsa yang hanya tersisa dua ribu rupiah-an. Sekitar
tiga menit, ya menurutku sedikit lama memandangi layar smartphone menunggu
telfon. Tiba-tiba telfon masuk, langsung ku angkat. Seperti biasa, tanya jawab.
“Lagi dimana ri? Kok suaranya
rame?”.
“Iya mah, ini abis lari di
stadion”.
“Loh lagi ngga di kosan? Udah mau
magrib”.
“Iya dikit lagi pulang mah. ini
sekarang kosanku deket mana-mana mah, deket kampus(Lumayansih), deket stadion,
deket tempat ngaji juga”.
“Oh iya ri gimana kabarnya?”
Lalu aku mulai cerita tentang
UTS, yang mana baru besok akan benar-benar menghadapi UTS yang sesungguhnya(Baca
: Besok Hiper). Beliau cerita seperti biasa, cerita warung, dan selalu di
akhiri dengan “Alhamdulillah ri”. Sampai akhirnya Mamah cerita tentang Deniv.
“Ini lho ri, adikmu susah banget
bangun subuh sekarang”.
“Oh iya, anaknya mana mah?”
“Ini ada, baru pulang ngaji.
Suruh solat subuh coba ri”.
Kali ini berbeda, kata perintah “Suruh
solat subuh coba ri”. Tidak langsung aku laksanakan. Mengingat aku lagi
dodol-dodolnya belakangan ini. Bagaimana bisa aku nyuruh solat tapi dua tiga
hari terakhir subuhku juga kesiangan. Entah kenapa pada saat itu juga teringat
kisah Umar bin Khathtab Radhiallahu’anhu
saat diminta menjelaskan besarnya pahala membebaskan budak, sementara saat itu
beliau Radhiallahu’anhu masih memiliki budak. Beliau tidak berkata kecuali
setelah beliau pulang dan membebaskan semua budaknya. Meskipun begitu, aku
tetap berkata kepada adikku saat itu “Solat lu nip, kata mamah lu susah
dibangunin ya”. Seperti biasa, dia hanya menjawab iya. Singkat cerita, telfon
berakhir.
Kadang memang aku bingung, saat
sedang penat di perantauan harus berbuat apa. Namun sekarang, mungkin sudah
mulai tercerahkan. Alhamdulillah. Sederhana, mungkin hanya sekedar menelfon
rumah dan memberikan sepenuhnya perhatian pada suara yang berada di telfon. Mumpung
masih bisa telfonan, kalo kata si ‘Pakde’,”Hal-hal
sederhana yang nampaknya remeh, tapi akan sangat bermakna ketika sudah tak bisa
lagi dilakukan”.
0 komentar: