Saat Aku Pulang (Part 1)

07.11 Dery Rizki Purwanto 0 Comments


Bismillah,
            Jum’at tepatnya tanggal 26 Oktober lalu sebuah kajian Riyadhus Shalihin bab 96 mengenai memberikan wasiat atau nasihat kepada seorang sahabat tatlaka hendak berpisah atau safar, mengantarkan saya sebelum pulang ke Jakarta malam itu. Salah satu ayat yang dibawakan saat itu adalah surat Al-Baqarah ayat 132. Allah Ta’ala berfirman :
وَوَصَّىٰ بِهَا إِبْرَاهِيمُ بَنِيهِ وَيَعْقُوبُ يَا بَنِيَّ إِنَّ اللَّهَ اصْطَفَىٰ لَكُمُ الدِّينَ فَلَا تَمُوتُنَّ إِلَّا وَأَنْتُمْ مُسْلِمُونَ
Dan Ibrahim telah mewasiatkan ucapan itu kepada anak-anaknya, demikian pula Ya'qub. (Ibrahim berkata): "Hai anak-anakku! Sesungguhnya Allah telah memilih agama ini bagimu, maka janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam" [Al-Baqarah (2) : 132]
Nasihat yang merupakan sebuah inti dari kehidupan ini, dan harapan bagi setiap orang yang diberi hidayah oleh-Nya. Janganlah kamu mati kecuali dalam memeluk agama Islam. Setelah kajian, sahabatku yang datang bersama malam itu langsung meminta saya untuk mengamalkan isi dari kajian, karena aku termasuk dalam kategori ingin berpisah dengan mereka saat itu. Ya, meski hanya untuk beberapa hari. Sedikit hal yang harus direnungkan, Kita selalu punya teman untuk tertawa bareng, teman olahraga bareng, naik gunung atau hobi lainnya, tapi apakah kita punya teman yang diam-diam mendoakan kita, menyebut nama kita dalam keheningan suasana berdo’a, meminta kebaikan untuk kita kepada Sang Pencipta?
Suasana didalam kereta Ekonomi tapi kok nyaman.

Tepat pukul 20:20 kereta meluncur dari Stasiun Tawang Semarang dan dijadwalkan tiba di Stasiun Jatinegara pukul 2:52 dini hari. Setelah berpelukan dengan sahabatku yang mengantar sampai di stasiun, aku langsung mencari mesin pencetak tiket untuk segera bisa masuk kedalam stasiun yang sebentar lagi memberangkatkan kereta yang akan saya tumpangi. Tidak lupa aku mengabarkan kepada keluarga dirumah bahwa anak yang suka bikin gaduh di rumah akan segera sampai beberapa jam lagi. Sampai di Jatinegara, aku bertemu dengan salah satu rekan seperkuliahan yang juga pulang ke Jakarta malam itu. Lalu kami berdua memesan Ojek Online, dalam beberapa detik, pesanan rekanku ini langsung diterima. Tidak denganku yang harus menunggu agak lama sehingga ada yang bersedia mengantarku dari Jatinegara sampai ke Cibubur di pagi buta. Jelas, ongkos kami lumayan jauh beda. Rekanku butuh Rp. 10.000 untuk bisa sampai kerumahnya, sedangkan aku butuh Rp. 51.000. Jarak semakin jauh, bayaran menyesuaikan.
“Ya kalo didaerah sini mas, orang pada males kalo harus ambil yang jauh-jauh. Ini saya dapet masnya nganter jauh karena buangan aja dari yang lain gaada yang ngambil. Mereka itu yang penting deket dan bisa bolak-balik mas, soalnya berapapun nominalnya tetep dapet poinnya satu aja. Nanti kalo udah banyak poin bisa ada bonus. kalo saya mah gapapa mas, namanya rejeki”. Begitu kata Abang Ojek Online.
Abang bilang, kalau dia lagi asyik main Mobil Lejen dengan anaknya yang masih duduk di bangku sekolah dasar, lalu datang orderanku. Padahal itu jam tiga pagi. Pandanganku sedikit buruk tentang kebiasaan hidup Abang ini, namun di dalam perjalanan ini juga Abang Ojek memberiku banyak pelajaran. Sepanjang perjalanan sepertinya kami tidak pernah habis bahan pembicaraan, mulai dari curhatan narik ojek, sampai dengan Ibadah Umroh.
Pasar Keramat Jati, entah kapan disana tidak macet.

“Biasanya kalo perhari dapet berapa bang narik?”, Tanyaku, mungkin agak sensitif.
“Mas, kalo saya sehari dapet dua ratus ribu itu udah pegel-pegel badan. Itu belum bersih ya mas. Saya tuh kalo makan selalu dirumah mas, kalo nongkrong di Basecamp juga paling ngopi segelas trus narik lagi. Soalnya, banyak ojek yang kerjaannya nongkrong doang mas di Basecamp dan pulang ga bawa duit. Saya gak mau kaya gitu mas. Saya ngerokok pun ini yang paling murah, apa itu namanya, yang waranya putih. Neslite ya?, ya Alhamdulillah lah mas”. Pertanyaan singkat yang dibalas dengan penjelasan paket komplit. Belum selesai, lalu Abang Ojek melanjutkan.
“Alhamdulillah saya udah Umroh mas, tahun 2016. Waktu itu saya daftar ada promo itu travel XXX(disamarkan), 14 Juta bisa Umroh. Biasanya 20 Juta mas. Tapi sekarang itu agen lagi ada masalah mas. Abis saya berangkat, saya bantuin ngurus temen sama perempuan tapi bukan suami istri. Perempuannya udah tua renta mas. Nah mereka berdua mau Umroh saya kasih tau dan urusin yang 14 Juta itu. Eh sampe sekarang bermasalah itu belum berangkat juga, ada kasus mas. Uangnya juga ga kembali. Ribet kalo ngurus-ngurus uang gitu apalagi udah ke ranah polisi mas.” Tambahannya mungkin sebagai toping pelengkap dari paket komplit sebelumnya yang ternyata belum bisa disebut paket komplit karena belum komplit (?).
“Mas abis darimana?”, ia gentian bertanya.
“Saya kuliah bang, di Semarang.”
“Ngambil apaan mas?”, lanjutnya.
“Teknik Geodesi di Undip bang”
“Wah Teknik Geodesi yang mana?”
Hmmmm… sudah kuduga. Entah berapa orang yang telah bertanya aku kuliah ambil apa namun berlanjut dengan pertanyaan apa itu Geodesi. Setelah sedikit kuberi gambaran, lalu Abang Ojek melanjutkan.
“Wah yang suka ngeker-ngeker gitu kan mas kalo tanah-tanah gitu?”, sambil memeragakan ngeker dengan tangan kirinya membentuk kode “oke” dengan pertemuan antara ibu jari dengan jari telunjuk.
“Nah iya, itu geodesi juga bang”.
Banyak wejangan dari Abang Ojek yang saya dapat, satu nasihat terakhir sesaat ingin sampai rumahku, ia bilang,
“Mas, kuliah yang fokus, gausah pikirin atau main-main sama perempuan dulu. Saya akuin bener mas, perempuan itu godaan terbesar buat laki-laki. Perempuan itu gampang mas, maksut saya tapi bukan berarti gampangan. Kalo kita cuek, perempuan yang agresif mas sekarang mah. Belajar dulu yang banyak, nanti perempuan dateng sendiri yang cocok”.
Tidak lama setelah itu, kami memasuki kawasan padat penduduk alias gang senggol yang hanya bisa dilewati satu mobil dan sangat sempit.
“Nah, ini baru nih Jakarta mas!”, begitu katanya.
Lalu saya bertanya, “Tau jalan baliknya bang?”.
“Kaga”, sambil sedikit tertawa.
Lalu setelah saya sampai, kami berpisah diwaktu subuh. Saya hanya bisa membekali dua gelas air mineral bungkusan. “Udah mas satu aja cukup saya”. Lalu dia mengembalikan satu kepadaku dan pamit.
Sampai dirumah, tentunya saya disambut orang pertama yang selalu membukakan saya pintu ketika saya pulang dari Semarang. Mama.
.
.
Bersambung Insya Allah …
.
Baca Juga :

You Might Also Like

0 komentar: